I. Pendahuluan
Padi sebenarnya bukanlah hal baru bagi manusia, termasuk di Indonesia. Sudah sejak dahulu nenek monyang kita membudidayakannya. Sejarah dunia pertanian mengalami lompatan yang sangat berarti, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern.
Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk Asia. Sekitar 1.750 juta jiwa dari sekitar tiga milyar penduduk Asia, termasuk 200 juta penduduk Indonesia, menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras. Sementara di Afrika dan Amerika Latin yang berpenduduk sekitar 1,2 milyar, 100 juta di antaranyapun hidup dari beras.
Di Indonesia, beras bukan hanya sekedar komoditas pangan, tetapi juga merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas politik, ekonomi dan kerawanan sosial yang tinggi. Demikian tergantunya penduduk Indonesia pada beras, maka sedikit saja terjadi gangguan produksi beras, maka pasokan menjadi terganggu dan harga jual meningkat.
Petani di daerah kita pada umumnya enggan melakukan penanganan pasca penen. Hal ini selain disebabkan karena kurangnya modal usaha yang berujung pada rasa ingin segera memasarkan hasil pertanian juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentangan penanganan pasca panen itu sendiri. Penanganan hasil pertanian yang selama ini sering dilakukan petani hanyalah sekedar menjemur untuk menghilangkan kadar air yang terdapat di kulit luar produk itu sendiri, seperti padi, kacang tanah, jagung, kedelai dan lain-lain.
II. Panen
a. Saat Panen
Panen merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh setiap petani. Panen merupakan kegiatan akhir dari proses produksi di lapangan dan faktor penentu proses selanjutnya. Pemanenan dan penanganan pasca panen perlu dicermati untuk dapat mempertahankan mutu sehingga dapat memenuhi spesifikasi yang diminta konsumen. Penanganan yang kurang hati-hati akan berpengaruh terhadap mutu dan penampilan produk yang berdampak kepada pemasaran.
Sekitar sepuluh hari sebelum panen, sawah harus dikeringkan agar masaknya padi berlangsung serentak. Selain itu, keringnya sawah akan lebih memudahkan pemanenan. Pemanenan padi harus dilakukan pada saat yang tepat. Panen yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas butir gabah menjadi rendah, yaitu banyak butir hijau atau butir berkapur. Bila hal ini yang terjadi, nantinya akan diperoleh beras yang mudah hancur saat digiling. Sebaliknya, panen yang terlambat dapat menurunkan produksi karena banyak butir gabah yang sudah dimakan burung atau tikus.
Secara umum padi dikatakan sudah siap panen bila butir gabah yang sudah menguning sudah mencapai sekitar 80 % dan tangkainya sudah menunduk. Tangkai padi menunduk karena sarat dengan butir gabah bernas. Untuk lebih memastikan padi sudah siap panen adalah dengan cara menekan butir gabah. Bila butirannya sudah keras berisi maka saat itu paling tepat untuk dipanen.
b. Cara Panen
Secara tradisional padi dipanen dengan ketam. Hanya saja panen dengan alat ketam tersebut agak lambat dan perlu banyak tenaga kerja sehingga tidak efisien. Agar panen dapat berlangsung cepat, alat yang digunakan adalah sabit. Dikatakan cepat karena hanya dengan empat tenaga kerja saja luas areal padi yang dapat dipanen dapat mencapai 2.500 m² untuk waktu setengah hari. Sementara panen dengan ketam memerlukan sepuluh tenaga kerja untuk areal yang sama, tetapi waktunya 2 hari. Panen dengan sabit ini hanya disisakan batang setinggi 20 cm dari permukaan tanah.
c. Perontokan
Setelah dipanen, gabah harus segera dirontokkan dari malainya. Tempat perontokan dapat langsung dilakukan di lahan atau di halaman rumah setelah diangkut ke rumah. Perontokan ini dapat dilakukan dengan perontok bermesin ataupun dengan tenaga manusia. Bila menggunakan mesin, perontokan dilakukan dengan menyentuhkan malai padi ke gerigi alat yang berputar. Sementara perontokan dengan tenaga manusia dilakukan dengan cara batang padi dipukul-pukulkan, malai padipun dapat diinjak-injak agar gabah rontok.
Untuk mengantisipasi agar gabah tidak terbuang saat perontokan maka tempat perontokan harus diberi alas dari anyaman bambu atau lembaran plastik tebal (terpal). Dengan alas tersebut maka seluruh gabah diharapkan dapat tertampung.
Setelah dirontokkan, butir-butir gabah dikumpulkan di gudang penyimpanan sementara. Oleh karena tidak semua petani memiliki gudang sementara, pengumpulan dapat dilakukan di teras rumah atau bagian lain dari rumah yang tidak terpakai. Gabah tersebut tidak perlu dimasukkan dalam karung, tetapi cukup ditumpuk setinggi maksimal 50 cm.
III. Pasca Panen
a. Pengeringan
Agar tahan lama disimpan dan dapat digiling menjadi beras, maka gabah harus dikeringkan. Pengeringan gabah umumnya dilakukan di bawah sinar matahari. Gabah yang dikeringkan ini dihamparkan di atas lantai semen terbuka. Penggunaan lantai semen terbuka ini agar sinar matahari dapat secara penuh diterima gabah. Bila tidak memiliki halaman atau tempat terbuka yang disemen maka halaman tanah pun dapat dipakai untuk penjemuran. Namun, gabah perlu diletakkan pada alas anyaman bambu, tikar atau lembaran plastik tebal. Hal ini dilakukan agar gabah tidak bercampur dengan tanah.
Lama jemuran tergantung iklim dan cuaca, bila cuaca cerah dan matahari bersinar penuh sepanjang hari, penjemuran hanya berlangsung sekitar 2 – 3 hari. Namun, bila keadaan cuaca terkadang mendung atau gerimis dan terkadang panas. Waktu penjemurannya dapat berlangsung lama, sekitar seminggu.
b. Penggilingan
Penggilingan dalam pasca panen padi merupakan kegiatan memisahkan beras dari kulit yang membungkusnya. Pemisahan secara tradisional menggunakan alat sederhana, yaitu lesung dan alu. Lesung terbuat dari kayu utuh yang diceruk mirip perahu. Cerukan pada kayu tersebut berfungsi sebagai tempat gabah ditumbuk. Sementara alu merupakan pasangan dari lesung sebagai alat penumbuk gabah. Alu tersebut terbuat dari kayu yang bentuknya bulat panjang seperti pipa.
Mesin Penggiling "BANGKIT" yang kapasitas 350 kg/jam, Berat 220 Kg sangat cocok digunakan usaha pertanian agroindustri beras dalam usaha kecil
Kendala penggilingan gabah secara tradisional adalah pengerjaannya sangat lambat, tenaga kerja yang memadai tidak tersedia dan alatnya sulit dijumpai. Saat ini kebanyakan lesung dan alu sudah menghilang dari kehidupan petani padi karena kehadiran alat penggiling yang praktis dan daya kerjanya cepat.
Pemisahan beras dari kulitnya dapat dilakukan dengan cara modern atau dengan alat penggiling. Alat yang sering digunakan berupa hulle. Hasil yang diperoleh pada penggilingan dengan alat penggiling gabah ini sama dengan cara tradisional, yaitu pada tahap pertama diperoleh beras pecah kulit. Pada penggilingan tahap kedua, beras akan menjadi putih bersih.
c. Penyimpanan Beras
Beras organik yang sudah digiling secara tradisional maupun modern dapat langsung dipasarkan. Namun, karena umumnya beras tidak langsung dapat dipasarkan seluruhnya maka perlu ada tempat penyimpanan. Teknik penyimpanan beras harus diperhatikan agar kondisinya tetap bagus hingga saatnya akan dijual.
Umumnya beras disimpan di gudang setelah dikemas dalam karung plastik berukuran 40 Kg atau 50 Kg. Pengemasan dalam karung ini dilakukan secara manual oleh petani. Bagian karung yang terbuka dijahit tangan hingga tertutup rapat.
Dalam gudang penyimpanan dapat saja beras diserang oleh hama bubuk. Biasanya hama bubuk ini menyerang beras yang tidak kering benar saat pengeringan. Hama bubuk tidak menyukai beras yang kering karena keras. Selain itu, hama bubuk pun menyukai tempat lembab sehingga ruangan gudang harus kering, yang dilengkapi dengan ventilasi udara.
Penumpukan karung berisi beras di dalam gudang pun harus ditata sedemikian rupa agar beras yang sudah lebih dahulu disimpan dapat mudah keluar lebih awal. Akan lebih baik lagi bila setiap karung diberi tanda khusus seperti tanggal penyimpanan.
d. Pemasaran
Ada dua cara pemasaran beras di Indonesia, pertama petani menjual langsung di lahan pada saat sudah siap panen kepada pedagang pengumpul yang disebut penebas. Penebas inilah yang akan memanen dan mengolahnya lebih lanjut menjadi beras. Kedua, petani sendiri yang memanen, mengeringkan, lalu menjualnya ke pedagang pengumpul, baik berupa gabah kering giling atau sudah menjadi beras.
Penjualan beras biasanya dilakukan petani langsung kepada pedagang beras di pasar, dititipkan ke pasar swalayan atau dijual langsung ke konsumen.
Bila dijual langsung ke pedagang beras di pasar, keuntungan yang diperoleh hanyalah berupa uang kontan, kerugiannya adalah harga yang diperoleh tidak maksimal karena pedagangpun harus mengambil keuntungan saat dipasarkan lebih lanjut.
Bila dititipkan di pasar swalayan, keuntungan yang diperoleh berupa harga jual yang lebih tinggi. Hanya saja pembayarannya tidak dilakukan secara tunai, melainkan setelah beras tersebut laku terjual. Beras yang dititipkan dikemas dalam plastik yang sudah dilengkapi dengan label.
Bila dijual langsung ke konsumen, harganya memang sama dengan harga jual ke pasar swalayan, bahkan dapat lebih tinggi. Dari segi usaha cara ini kurang praktis karena petani harus mendatangi konsumen satu persatu.