Tuesday, May 11, 2010

Mirip Cerita Cakeuk

Setidaknya aku ingin memberi bocoran sedikit, kekacauan-kecauan hidupku sekarang ini semuanya akibat ulah sepele si orang kaya. Sangat kecil dan sepele, tapi berakibat fatal dan membuat sebuah kisah panjang yang nyaris tiada habis – seperti ingi menegaskan bahwa diriku belum mati – dan cerita ini terus berlanjut. Ingat sebuah kisah cakeuk yang mirip dengan dengan cerita ini, dimana sebuah tingkah konyol dan sepele berbuntut panjang dan memakan korban berantai yang saling berkaitan. Aku ingin menceritakannya seperti ini.
Cakeuk si burung bermain di sebuah padang rumput yang luas, lalu bertemu dengan dengan sahabatnya sebatang rumput panjang yang semakin panjang hingga hampir melebihi batas panjang sebatang rumput.
”Kenapa panjang dikau, wahai rumput ?” Tanya Cakeuk
”Tidak ada lagi yang memakan aku, wahai Cakeuk.” Jawab sang rumput panjang.
Lalu Cakeuk terbang tinggi menjauh, melihat sesuatu yang mungkin saja bisa menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh si rumput panjang. Di tengah hamparan padang rumput yang luas itu, matanya menari kian kemari menyapu setiap sudut tanah lapang yang di terpa sinar mentari sore. Di kejauhan sang Cakeuk melihat seekor kerbau sedang melamun gundah gulana. Perlahan Cakeuk turun dan hinggap tepat di depan sang kerbau, lalu berkata :
”Kenapa dirimu tidak memakan rumput panjang, wahai kerbau ?”
”Tidak ada lagi manusia yang mengembalai aku, wahai Cakeuk.” Jawab kerbau sedih.
Cakeuk merasa bertanggung jawab untuk mengungkap misteri itu, dia harus mampu memecahkan semua misteri yang sedang terjadi. Perlahan dia kembali terbang mengangkasa, tanpa beban karena menganggap semua biaya penerbangan keluar dari hasil keringat sendiri, bukan hasil mencuri, menipu apalagi korupsi. Matanya kembali jelalatan kesana kemari, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti, pinta-pinta sekaligus mendapat saksi.
Tiba-tiba sebuah senyuman terbersit di wajah sang Cakeuk, ketika matanya menatap seorang anak kecil yang sedang terduduk lesu di bawah sebatang pohon yang rindang. Sang Cakeuk perlahan turun dan menghampiri si anak, lalu menyapanya.
”Kenapa kamu tidak mengembalai kerbau, wahai anak kecil ?” Tanya Cakeuk.
”Perutku sakit, wahai Cakeuk.” Jawab sang anak sambil memegang perutnya.
Cakeuk pun bertanya pada perut sang anak.
”Kenapa kamu sakit, wahai perut ?”
”Bagaimana aku tidak sakit, wahai Cakeuk. Nasi yang masuk ternyata masih mentah.” Jawab sang perut.
Lalu Cakeuk bertanya pada nasi yang berada di dalam perut.
”Kenapa kamu mentah, wahai nasi ?”
”Bagaimana aku tidak mentah, wahai Cakeuk. Kayu bakar yang dipakai untuk memasak aku, ternyata basah.” Jawab nasi.
Cakeuk geleng-geleng kepala menghadapi kenyataan ini. Masalah semakin rumit dan korban semakin bertambah. Semangat dalam jiwanya semakin besar, nalurinya semakin tertantang, dia harus bisa memecahkan kasus ini secepat mungkin dan menekan biaya seminim mungkin. Tidak perlu harus membentuk pansus, karena hanya akan menghabiskan uang rakyat dengan percuma. Daripada digunakan untuk rapat dan honor Tim yang belum tentu bekerja serius, akan lebih baik uang itu digunakan untuk membangun rumah dhuafa atau memberikan modal usaha pedagang kecil di pasar sayur kota Blangpidie.
Cakeuk kembali terbang tinggi dengan sedikit beban di kepala, berupa tanggung jawab sebagai ketua sekaligus anggota tim. Dia menganggap ini kerja sosial, tanpa pandang bulu. Karena selain dirinya sampai sejauh ini tidak ada satupun dari korban yang mempunyai bulu seperti itu. Walau kasus sudah hampir terungkap, namun Cakeuk tidak buru-buru menetapkan tersangka.
To the point, dia langsung terbang dan mendarat dengan mulus di landasan kayu bakar. Setelah mengurus segala tetek bengek visa dan keimigrasian lainnya, dia langsung menuju kediaman kayu bakar. Waktu adalah uang, begitu prinsip Cakeuk. Tanpa banyak membuang waktu dia langsung bertanya pada kayu bakar yang berdiri berhimpitan di depannya.
”Kenapa kamu basah wahai kayu ?”
”Hujan turun sangat deras, hingga membasahi seluruh tubuhku.” Jawab kayu bakar jujur.
Cakeuk memalingkan mukanya dan menatap hujan yang datang bergerombolan. Sebuah rezim yang memegang prinsip main keroyok, sangat tidak pantas untuk ditiru, kecuali untuk gotong royong membersihkan lingkungan atau tempat ibadah. Atau untuk mencari orang hilang, menangkap pelaku mesum dan memerangi pelaku kejahatan.
Allahu Akbar..
Geram, Cakeuk bertanya pada hujan sambil sesekali membersihkan matanya yang basah akibat ulah anak buah sang hujan yang tiada henti membasahinya.
”Kenapa kamu turun, wahai hujan ?” Tanya sang Cakeuk.
”Kodok yang memintaku untuk turun, wahai Cakeuk.” Jawab hujan sekenanya, sambil terus berteriak lantang menyemangati anak buahnya untuk terus turun membasahi bumi dan segala isinya.
Cakeuk kembali mencatat semua temuan itu dan buru-buru menemui sang kodok di pinggiran sungai. Besar hatinya kasus ini akan terungkap pada sang kodok. Apalagi saat di temui di kediamannya si kodok sedang duduk santai di beranda belakang sambil ketawa-ketiwi melihat anak-anaknya yang sedang bermain di kolam renang pribadi. Orang kaya, batin Cakeuk.
Setelah mengucapkan salam khas kodok seadanya, Cakeuk masuk dan dukuk manis di bangku santai yang kosong di samping kodok, matanya ikut memperhatikan kelincahan berenang putera puteri kodok.
”Kenapa anda meminta hujan supaya turun, pak kodok ?” Tanya Cakeuk sambil menyodorkan Tape Recorder mini yang selalu dibawanya dan hanya dipakai untuk kodok-kodok seperti pak kodok ini.
”Sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu,” Jawab kodok sambil meraih gelas minuman yang tinggal separuh di meja kecil yang memisahkan mereka.
”Tapi karena ayam mematuk aku, terpaksa itu aku lakukan.” Lanjutnya, lalu diam.
Cakeuk terdiam, lalu pamit tanpa ingin menghabiskan banyak waktu pak kodok yang sangat berharga itu. Sudah jelas, bahwa ayam lah pokok permasalahan dari kasus ini.
Mencari ayam tidak begitu sulit, karena dia tak pernah keluar dari komunitasnya dan akan selalu seperti itu. Kecuali ayam yang di culik dan dibawa ke pasar untuk dijual pada pedagang spesialis ayam curian. Atau di bawa ke pinggir sungai, di bagian paling hulu untuk di sembelih dan makan gadang bersama teman-teman dari komunitas (kebanggaan) pemabuk.
Dari jauh, Cakeuk langsung berteriak keras sambil menatap wajah ayam tanpa berkedip.
”Kenapa kamu mematuk kodok, wahai ayam ?”
”Gara-gara burung elang yang duluan mematuk aku.” Ayam menjawab sebentar lalu pergi, melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Merayu si betina.
Pikiran Cakeuk terus berjalan dan berpikir, tenyata yang di atas lah penyebab dari semua ini. Tanpa ragu Cakeuk terbang tinggi mencari yang di atas, karena dia bisa pastikan bahwa selain dirinya tak akan ada yang mampu menemui yang di atas itu, apalagi untuk menyeretnya ke pengadilan.
Burung elang terbang santai sendirian, matanya jelalatan melihat ke bawah. Sambil sesekali menukik turun lalu terbang lagi, tinggi.. Orang-orang yang di bawah selalu melihat pemandangan ini dengan hati senang. Saat elang semakin merendah, ada harapan besar bagi mereka. Setidaknya akan mendapat sebatang rokok kalau bersedia duduk dan mendengar banyolan si elang. Tanpa mereka sadar bahwa sesungguhnya si elang mencari mangsa.
Reputasi tinggi selama ini membuat Cakeuk di kenal oleh semua lapisan, sehingga dia bebas untuk menemui siapa saja. Tak terkecuali si elang, walau harus mewawancarainya sambil berjalan (maksudnya, terbang).
”Pak Elang.. Pak Elang.. Minta waktunya sedikti, pak..” Kata Cakeuk memohon.
Si Elang lalu memperlambat jalannya sambil menoleh, sebagai pertanda dia siap untuk diajukan pertanyaan.
”Benarkah bapak yang mematuk ayam, sehingga bla.. bla.. bla...” Tanya Cakeuk buru-buru.
Si Elang hanya tersenyum.
“Tanya pada si Gagak.” Katanya sambil kembali berjalan.
“Maaf, aku buru-buru..?” Katanya lagi sambil menutup pintu mobil.
Cakeuk terdiam sebentar, lalu pergi setelah mencatat fakta terbaru tadi.
Ternyata ada lagi yang di atas, yang lebih besar, yang lebih berkuasa, yang ikut andil dalam perkara ini. Aku pikir cuma rumput panjang yang tamak sendiri hingga dia panjang dan besar dan gendut. Punya rumah mewah, mobil mewah, apartemen dan segala macam.
Ach.. lagi-lagi tidak boleh berprasangka.
Cakeuk tidak segan untuk menemui si gagak, karena mereka sering bertemu dan berdiskusi. Membahas persoalan bangsa, baik berdua maupun dalam forum-forum resmi. Namun, Cakeuk merasa harus menyelesaikan persoalan ini agar tidak berlarut-larut dan akan menambah daftar korban serta kerugian meteril.
Di kediaman sang gagak, Cakeuk duduk terdiam dalam tempo waktu yang lama. Karena tak habis pikir dengan jawaban gagak. Semua rentetan peristiwa itu, yang andai di selesaikan oleh pansus akan menghabiskan uang rakyat milyaran rupiah, ternyata penyebabnya hanya satu.
“Galak-galak ku tak sigoe...!”
(suka-suka saja aku patuk sekali...)

Putriku..

Putriku..
Saat pengambilan foto untuk Visa..

Putriku tercinta..

Putriku tercinta..

ponakan

ponakan
Keren..

Followers