Entah apa yang ingin aku tulis hari ini, tak ada ide apapun selain Cuma ingin mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan. Aku memulai menulis ini dengan harapan ada ide yang muncul saat aku sudah mulai menulis. Tapi sampai ini udah tiga baris belum satu idepun muncul dan membutku bisa memperpanjang tulisan ini..
Hemmm..
Sebuah kata yang selalu aku ungkapkan di setiap komunikasi tulis ma teman-teman di saat aku gak tahu berkata apa atau saat aku ingin mengatakan ’no comment.’
ORANG BIJAK BERBICARA
- Membuat manusia hidup sehari berilah ia nasi
- Membuat manusia hidup sebulan berilah ia gandum dan ajari membuat roti
- Membuat manusia hidup sepuluh tahun ajarilah bercocok tanam gandum
- Membuat manusia hidup bergenerasi ajarilah mengembangkan manusia
Berbicara soal pengembangan manusia, tak bisa lepas dari yang namanya pendidikan. Aku sedikit tersentuh membicarakan ini, aku yang selama ini selalu mengimpikan agar bisa sekolah dan sampai saat ini belum bisa aku capai, meski udah dapat gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Abulyatama Aceh.
Mungkin seperti yang selalu di dengung-dengungkan oleh KH. Zainuddin. MZ dalam setiap kesempatan ceramahnya, bahwa sifat manusia selalu gak pernah merasa puas. Andai diberi uang seribu pengen lima ribu, andai diberi lima ribu pengen sepuluh ribu dan seterusnya. Mungkin seperti itu yang aku maksud dalam ”mimpi ingin sekolah” selama ini. Tapi, apa mungkin seperti itu..?
Tidak kawan, (mengutip gaya bahasa bang Andrea Hirata)..
Bukan sifat tamak yang seperti itu yang aku maksud selama ini. Sama sekali bukan. Aku mengimpikan sekolah yang benar-benar sekolah, sekolah yang benar-benar menuntut ilmu dalam arti yang sebenarnya. Aku selama ini tidak pernah bercerita tentang urutan pendidikanku, baiklah aku ceritakan sedikit disini.
Aku menamatkan sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Alue Sungai Pinang, kira-kira tahun 1992. Di tahun yang sama aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) I Blangpidie dan selesai tahun 1995. Pada saat di kelas III SMP ini aku selalu meminta pada orang tuaku agar aku di sekalahkan di STM (Sekolah Teknik Mesin) yang saat itu cuma ada di Meulaboh (Aceh Barat) atau di Banda Aceh. Tapi nak, orang tuamu tidak punya uang...
Meski harus menggelapkan mimpi sekolah di STM, keluarga besarku tetap menginginkan aku melanjutkan sekolah, karena (Insya Allah) aku dibanding dua orang kakakku lebih berpotensi untuk sekolah. Wawak Hasan di Ie Mirah menginginkan aku untuk melanjutkan ke Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang saat itu ada di Tapaktuan (Aceh Selatan), sama seperti saran Cek (Paman) Kasmadi. Cek Muchtaruddin menyarankan aku agar sekolah di Politeknik - sebenarnya Sekolah Menengah Teknik Pertanian (SMT-P) - Kluet Utara (Aceh Selatan), sama seperti permintaan abang ipar dan kak Kamaliah.
Alasan dari masing-masing mereka, Cek Kasmadi menginginkan aku jadi perawat karena beliau adalah seorang mantri kesehatan, tapi aku merasa kalau orang tuaku tak akan sanggup membiayai sekolahku di SPK. Cek Muchtaruddin dan bang Zainuddin memintaku sekolah di SMT Pertanian karena lokasi sekolah tak jauh dari rumah mereka, jadi soal biaya sekolah dan biaya sehari-hari bisa dibantu ala kadarnya.
Aku bingung memilih antara pilihan keluarga yang bermacam-macam atau pilihanku sendiri yang tak diizinkan. Cek Kasmadi dan Wak Hasan memaparkan prospek setelah tamat SPK dengan berapi-api, bagaimana nanti aku akan jadi dokter dan bisa mengobati keluarga, bagaimana nanti aku akan dibutuhkan oleh semua orang dan rezeki melimpah. Aku sempat bimbang mempertimbangkan ini.
Bang Zainuddin dan Cek Muchtaruddin menyemangati aku agar sekolah di Pertanian, kata mereka disitu tinggal di asrama dan ada kegiatan ekstra kurikuler berupa kegiatan pramuka. Aneh, justru dua alasan terakhir yang menyebabkan aku akhirnya memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMT Pertanian. Alasan karena tinggal di asrama dan kegiatan pramuka.
-- Sedikit balik ke belakang, saat aku masih sekolah di Madrasah, aku bercita-cita ingin jadi ABRI. Saat itu aku sangat senang melihat orang-orang yang berpakaian militer, berbaris memegang senjata, mendaki gunung, memanjat tebing, terjun payung, bergelantungan di tali temali, berperang di medan laga dan lain-lain. Aku sangat ingin jadi tentara. Gagah, begitulah pikirku. Setiap ada yang bertanya tentang cita-cita, aku selalu dengan bangga mengatakan bahwa cita-citaku jadi ABRI. Tapi, cita-cita ini dibantah keras oleh Wak Hasan di Ie Mirah, beliau selalu menakut-nakuti aku. Beliau menceritakan bagaimana beratnya latihan tentara, bagaimana beliau melihat sendiri tentara disuruh meloncat oleh komandan dari mobil yang lari dengan kecepatan tinggi, bagaimana ngeri-nya tentara yang dipaksa melompat dari ketinggian tertentu saat terjun payung, dan sebagainya.
Inti dari semua itu, beliau tidak menginginkan aku jadi tentara, - setelah dewasa aku mensyukuri larangan ini – walau aku juga tidak mau jadi perawat seperti yang beliau inginkan. Cita-cita kecil inilah yang membuatku sampai sekarang (tamat SMP) masih terobsesi dengan segala sesuatu yang berbau tentara, salah satunya pramuka --
Akhirnya aku memilih untuk melanjutkan sekolah ke SMT Pertanian, yang biaya masuk dibantu oleh paman Muchtar. Setelah menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun disana, aku diundang untuk ikut Pelatihan Manajemen yang diadakan oleh Lembaga Pelatihan Manajemen (LPM) Ipwikon Jasindo, Yogyakarta.
nanti aku lanjutkan..