Sigupai adalah varietas unggul lokal yang menjadi andalan di Kabupaten Aceh Barat Daya. Sigupai menjadi varietas lokal yang unggul karena aroma wangi yang semerbak terutama saat padi mulai berbunga, harum semerbak menyebar ke segala penjuru sawah. Gabah sigupai yang beraroma khas, rasa nasi sangat enak dan pulen, sehingga banyak diminati oleh masyarakat manapun yang pernah merasakannya. Namun belakangan seiring perkembangan teknologi masyarakat Aceh Barat Daya sudah jarang menanam sigupai, keengganan ini karena umur (masa panen) sigupai lebih lama dibanding dengan varietas unggul nasional banyak masuk ke Aceh Barat Daya, dengan menawarkan segala kemudahan dan masa panen yang pendek.
Ini setidaknya menjadi salah satu bukti keberhasilan penyuluhan pertanian di Kabupaten Aceh Barat Daya, masyarakat mulai meninggalkan pola lama dalam berusahatani dan mulai menggunakan teknologi dengan segala konsekuensi dan keunggulan-keunggulannya. Sigupai yang berumur lebih lama dibandingkan dengan benih unggul bersertifikat, membuat petani lebih memilih menanam benih baru tersebut karena mempertimbangkan hasil panen yang tidak jauh berbeda.
Sigupai bukan satu-satunya varietas unggul lokal di Aceh Barat Daya, karena selain sigupai juga ada padi Sunteng, padi Cantik Manih, Sirendeh, Sukam Rayek, Sukam Cut, Simua, Si Kuneng, Penataran, Barcelona dan lain-lain. Tetapi diantara semua varietas unggul tersebut, sigupai merupakan varietas yang paling unggul, karena rasa dan aromanya tidak bisa ditandingi oleh padi manapun juga.
Umur panen sigupai juga tidak terlalu lama dibandingkan dengan varietas lokal lainnya, seperti padi Simua yang berumur ± 9 bulan dan si Kuneng berumur ± 7 bulan. Tinggi tanaman padi sigupai juga tidak mencapai ± 2 meter seperti padi simua, dan batang sigupai juga tidak terlalu besar seperti halnya padi Si Kuneng yang diameternya bisa mencapai ± 2 Cm.
Walaupun varietas lainnya memiliki rasa yang lebih enak dibanding benih IR dan sejenisnya, namun rasa dan aromanya tetap belum mampu mengalahkan rasa dan aroma sigupai, karena itu sigupai merupakan varietas paling unggul diantara varietas unggulan lainnya di Aceh Barat Daya.
Sigupai termasuk salah satu jenis padi wangi atau harum (aromatic rice). Jenis lain padi aromatic rice ini banyak dikembangkan di beberapa tempat di Asia, yang terkenal di Indonesia adalah ras 'Cianjur Pandanwangi' (sekarang telah menjadi kultivar unggul) dan 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica yang berumur panjang. Di luar negeri orang mengenal padi biji panjang (long grain), padi biji pendek (short grain), risotto.
Varietas sigupai bisa dibudidakan di lahan basah seperti di sawah dan juga bisa ditanami di lahan kering (gogo) dan relatif toleran terhadap penggenangan seperti di sawah, sigupai sistem gogo ini ditanami di ladang dan gunung atau bukit. Sigupai ladang ini saat ini masih banyak terdapat di Nagan Raya, khususnya di Kecamatan Darul Makmur. Namun rasa dan aroma sigupai ini berbeda dengan sigupai asli Aceh Barat Daya.
Penyuluhan pertanian yang tujuannya untuk merubah perilaku petani dari cara pertanian lama / tradisional ke cara pertanian modern, membuahkan hasil yang sangat berarti dalam perkembangan sistem pertanian di Indonesia, termasuk di Kabupaten Aceh Barat Daya. Sistem panca usaha tani yang dianjurkan juga mulai dilaksanakan petani, setelah melihat hasil yang dicapai dengan sistem pertanian seperti ini, petani perlahan mulai berubah dan mulai meninggalkan cara-cara pertanian lama, mulai menggunakan pupuk dan benih bersertifikat, mulai meninggalkan adat istiadat lama dan yang sangat disayangkan, mulai meninggalkan sigupai.
Perlahan sigupai mulai langka di Aceh Barat Daya, petani lebih memilih untuk menanam bibit yang berumur lebih pendek (± 100 hari) dibandingkan sigupai yang berumur ± 5 bulan. Tahun-tahun selanjutnya sigupai mulai tidak ditemukan lagi di pasaran. Ini tentu saja sangat memerlukan perhatian serius dari semua pihak, agar sigupai tidak hilang dan punah seperti halnya padi Sunteng dan Sirendeh, seperti Sukam Cut dan Si Kuneng.
Sigupai kian sulit di cari, mencari sigupai sama dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami, Nasrun Yunan dalam Serambi (05 Februari 2008).
Ir. Muslim Hasan MSi dalam Harian Serambi Indonesia (29 Januari 2010) menyatakan bahwa padi jenis sigupai yang beraroma harum dan pulen yang menjadi icon Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) punah sudah. Kalaupun masih tersisa, pastilah dalam jumlah yang sangat terbatas dan varietasnya tak lagi murni.
Pemerintah Daerah dalam hal ini instansi terkait dipandang perlu mendorong petani untuk mengembangkan tanaman padi sigupai melalui program khusus, terarah, dan dibarengi insentif yang memadai, sehingga beras “aseli” Abdya ini tidak tinggal nama. Mengembalikan masa kejayaan padi sigupai bukan hal mustahil, meski tidak mudah. Untuk itu diperlukan intervensi pemerintah melalui program pemurnian benih, perlindungan areal sawah, dan pemberian insentif kepada petani yang bersedia membudidayakan padi sigupai ini.
Proses pemurnian benih sigupai relatif lama, bisa mencapai delapan sampai sepuluh kali tanam. Setiap kali panen, butiran padi sigupai yang berkualitas dipisahkan untuk ditanam pada tahap berikutnya. Di samping itu perlu dilakukan rekayasa genetik di laboratorium untuk memperpendek umur panen sigupai dari lima bulan menjadi tiga bulan saja, sehingga petani tertarik menanamnya, karena menguntungkan secara ekonomi.
Diperlukan juga perlindungan areal secara khusus, mengingat sigupai tidak kondusif ditanami pada satu hamparan dengan tanaman padi jenis lain, karena dikhawatirkan produksinya tidak asli lagi disebabkan penyerbukan silang. Selanjutnya, perlu diberikan insentif sebagai perangsang kepada petani yang bersedia mengembangkan padi sigupai sebagai varietas langka, tapi strategis. Areal persawahan tertentu yang ternyata cocok ditanami sigupai perlu terus dilindungi dan tidak dikonversi ke peruntukan lain. Untuk keberhasilan semuanya ini perlu intervensi pemerintah kabupaten.
Selain karena berumur lama, petani enggan menanam kembali sigupai karena ada sinyalemen bahwa sigupai akan kalah bila ditanami dalam komunitas padi varietas lain. Terlepas dari sekedar isu atau takhayul, namun ujicoba penanaman sigupai yang dilakukan di lahan basah ”Cot Seutui” Desa Keude Siblah Kecamatan Blangpidie tahun 2007, mengalami gagal panen. Selain itu petani yang mencoba menanam sigupai di lahan sawah biasa tanpa perlakuan khusus juga mengalami hal serupa, lebih buruk lagi sigupai yang ditanami disini tidak keluar malai, karena sistem pembuahan yang gagal.
Bangsawan Siregar, SP (2009) menyatakan bahwa kegagalan budidaya sigupai di lahan Cot Seutui Blangpidie, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya benih sigupai yang ditanami itu bukan sigupai yang toleran terhadap penggenangan, karena benih tersebut didatangkan dari Kabupaten Nagan Raya, dimana mereka menanam sigupai ladang (gogo). Tentu saja membutuhkan perlakuan khusus untuk merubah benih padi gogo menjadi benih padi sawah. Sementara budidaya (pengembangan) sigupai di Cot Seutui hanya memakai sistem budidaya biasa.
Hal ini tentu saja membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, terutama penyuluh pertanian, pemerintah daerah dan stake holder lainnya. Agar sigupai bisa kembali bangkit dan bisa dibudidayakan, sehingga pada gilirannya kelak sigupai akan kembali bersinar terang, harum mewangi mengitari bumi Aceh Barat Daya. Perhatian serius ini bukan saja di level penyuluh dan pemerintah daerah, akan tetapi perlu kiranya membangkitkan kembali motivasi petani agar mau membudidayakan sigupai, secara bergiliran atau serentak.
Pernyataan Kepala Kantor Penyuluhan dan Ketahanan Pangan ini setidaknya merupakan lanjutan dari amanat Undang-undang. Seperti yang dinyatakan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Pasal 8 ayat (1) Pemulia yang menghasilkan varietas adalah pemulia atau orang atau badan hukum, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak Pemuliaan Varietas Tanaman berhak untuk mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari varietas tersebut.
Ketua Tim Penilai dan Pelepas Varietas Departemen Pertanian, sekaligus Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Deptan, Suyamto (2009) menyatakan bahwa Ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Ini dampak dari pemaksaan kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional dan hibrida berbasis spesies Indika. Padahal, Indonesia kaya plasma nutfah padi lokal spesies Javanika, yang berpotensi untuk dikembangkan, penanaman padi varietas lokal tinggal 10-15 persen.
Dilihat dari kepemilikan plasma nutfah padi, posisi Indonesia tidak seaman Amerika Serikat, yang memiliki 23.097 plasma nutfah padi, dan Filipina 90.000 plasma nutfah padi. Di Indonesia, hanya ada 3.800 jenis plasma nutfah yang terdaftar di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian.
Produksi benih padi Indonesia pun cenderung stagnan, yaitu 460.000 ton per tahun, sejak tahun 2000. Jumlah ini jauh di bawah produksi benih Vietnam, yang pada 2005 sudah mencapai 1.09 juta ton per tahun.
Tanpa komitmen bersama untuk melestarikan, kata Suyamto, dikhawatirkan padi varietas lokal akan punah. Padahal, varietas lokal mempunyai karakteristik tertentu hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika disilangkan dengan tepat berpotensi menghasilkan padi yang produktivitasnya tinggi, tanpa perlu biaya pemupukan dan pestisida.
Namun, petani didorong untuk menanam padi berbasis spesies Indika, yang umumnya ditanam di daerah basah Asia tropis dan subtropis, seperti China dan Jepang. Adapun padi Javanika hanya ditanam di Indonesia. Sebagian besar plasma nutfah yang ada di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian adalah varietas padi lokal, Javanika, dari seluruh Indonesia.
Sampai akhir 1960-an, turun- temurun petani masih menanam ribuan varietas padi lokal. Misalnya varietas Angkong, Bengawan, Engseng, Melati, Markoti, Longong, Rejung Kuning, Umbul-umbul, Tunjung, Rijal, Sri Kuning, Untup, Tumpang Karyo, Rangka Madu, Sawah Kelai, Tembaga, Tjina, dan ribuan varietas padi lokal asli Indonesia lainnya.
Sejak pemerintah mengadopsi tanaman padi spesies Indika, seperti IR-64, PB-5, PB-8, dan kini varietas unggul nasional Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, Cibogo, dan lainnya, perlahan-lahan keberadaan varietas lokal tergusur. Apalagi, belakangan ini pemerintah melalui instansi terkait dan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan giat memperkenalkan padi hibrida ke petani.
Ir. Zulkifli Muhammad (2006), menyatakan bahwa butuh perhatian khusus untuk memurnikan kembali benih sigupai. Diantaranya dengan cara menyeleksi malai terbaik dalam areal budidaya sigupai, ditanami dan kembali dipilih. Sehingga akan didapatkan sigupai yang benar-benar unggul dan mempunyai kualitas tinggi serta tahan terhadap hama dan penyakit.
Asumsi yang berkembang tentang telah hilangnya keaslian sigupai ini sebenarnya hanya asumsi dari orang-orang yang memang tidak mengenal sigupai secara detail. Tidak mengenal bentuk fisik, marfologi tanaman, aroma dan segala seluk-beluk padi sigupai. Masyarakat tani yang pernah membudidayakan sigupai, tidak akan tertipu dengan sigupai palsu, karena mereka umumnya sangat mengerti keaslian sigupai walau hanya dengan melihat benih serta mencium aroma gabah tersebut.
Sehingga penulis sangat yakin bahwa sigupai yang saat ini ada di Aceh Barat Daya masih asli dan belum bercampur dengan varietas lain. Keaslian sigupai Aceh Barat Daya terjamin dan tidak / belum berubah karena (ketakutan) telah terjadi perkawinan silang dengan varietas lain yang ditanami dalam areal yang sama. Pengaruh angin dan hewan sawah disinyalir ikut berpengaruh dalam bercampurnya bunga sigupai dengan varietas lain saat terjadi penyerbukan. Untuk menjawab hal ini, tentu saja dibutuhkan sebuah penelitian khusus dengan menanam sigupai di areal sawah biasa dan menggunakan sistem lokal.
Menurut Ensiklopedia Indonesia (2010), setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea (bagian yang ditutupi) dan lemma (bagian yang menutupi) jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama.
Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman muda, pati berfungsi sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penanaman sigupai kita perlu mengetahui informasi tentang karakter genetik. Informasi genetik ini diperlukan salah satunya untuk mendapatkan hasil yang bagus seperti yang diharapkan. Informasi genetik ini berupa karakter kromosom beserta gen-gen yang terkandung di dalamnya yang menjadi ciri atau identitas genetik yang khas untuk suatu tanaman. Hal ini disebabkan identitas genetik yang lengkap dan jelas dari suatu tanaman memiliki arti penting dalam program pemulian, perlindungan plasma nutfah, maupun secara komersial. Untuk memperoleh identitas genetik padi kultivar perlu dilakukan penelitian katakter kromosomnya.
Karakter kromosom yang diamati dapat berupa jumlah kromosom, panjang lengan pendek (p), panjang lengan panjang (q), panjang absolut kromosom (p+q), indeks sentromer, ratio lengan panjang terhadap lengan pendek, dan rasio pasangan kromosom absolut terpanjang dan terpendek (R). Kemudian hasil pengamatan karakter-karakter kromosom yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk karyotype dan idiogram. Karyotype adalah keseluruhan kelompok sifat yang menunjukkan identifikasi dari suatu set kromosom yang khas.
Dilihat dari kepemilikan plasma nutfah padi, posisi Indonesia tidak seaman Amerika Serikat, yang memiliki 23.097 plasma nutfah padi, dan Filipina 90.000 plasma nutfah padi. Di Indonesia, hanya ada 3.800 jenis plasma nutfah yang terdaftar di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian. Produksi benih padi Indonesia pun cenderung stagnan, yaitu 460.000 ton per tahun, sejak tahun 2000. Jumlah ini jauh di bawah produksi benih Vietnam, yang pada 2005 sudah mencapai 1.09 juta ton per tahun.
Tanpa komitmen bersama untuk melestarikan, dikhawatirkan padi varietas lokal akan punah. Padahal, varietas lokal mempunyai karakteristik tertentu hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika disilangkan dengan tepat berpotensi menghasilkan padi yang produktivitasnya tinggi, tanpa perlu biaya pemupukan dan pestisida.