Pemuda adalah harapan bangsa..
Pemuda adalah harapan agama..
Pemuda adalah harapan semua orang..
Pemuda merupakan ujung tombak pembangunan dan harapan kelanjutan pembangunan dan perdamaian yang telah dicapai..
Disini aku tidak hendak menulis kejelekan dan perbandingan-perbandingan yang mengacu pada pujian atau hinaan, aku hanya ingin menulis setelah melihat ada perbedaan yang menyolok antara pemuda yang hanya dipisah oleh tiga desa dan satu kecamatan. Aku hanya ingin menulis karena hanya dengan tulisan aku dapat mencurahkan semua isi hati setelah melihat sendiri betapa pemuda dengan segala tabiat dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan yang paling utama dan paling berperan adalah orang tua.
Mungkin dimulai dari beberapa pertanyaan, kenapa pemuda di desaku enggan belajar agama; kenapa pemuda di desaku enggan shalat berjamaah di mesjid (di rumah apalagi); kenapa pemuda di desaku enggan mengikuti pengajian-pengajian di surau, di mesjid atau di meunasah; kenapa pemuda di desaku enggan mengikuti majelis-majelis taklim; kenapa pemuda di desaku enggan berkumpul-kumpul di mesjid untuk membahas sesuatu yang bersifat keagamaan atau sesuatu yang ujung-ujungnya mengarahkan mereka untuk mau belajar agama..?
Dulu, semasa aku masih kecil dan belum tau apa-apa tentang pemuda, aku melihat orang-orang yang sudah besar (setelah dewasa baru aku tahu, mereka disebut pemuda dan pemudi) sangat rajin belajar agama, mereka membentuk pengajian di bangunan samping mesjid dan rutin belajar agama. Aku sering ikut kakak dan melihat mereka belajar pidato, belajar bahasa Arab dan lain-lain. Seminggu sekali mereka mengadakan muhadharah, latihan pidato bergantian dan menghabiskan malam dengan belajar A-Quran di rumah-rumah pengajian.
Kenapa sekarang berbeda ? Kenapa sekarang tidak ada lagi orang-orang yang sudah besar melakukan itu ? Apakah pemuda sekarang sudah tertutup hatinya untuk belajar agama ? Apa jadinya masa depan mereka dan apa jadinya generasi di bawahnya lagi ? Ya Allah, berikanlah ilham dan petunjuk kepada teman-teman pemuda agar mereka mau belajar, menuntut ilmu agama untuk masa depan mereka sendiri.
Dalam satu pertemuan di mesjid, aku pernah menyampaikan pendapat kenapa pemuda sangat enggan belajar agama di mesjid dan kenapa mereka sangat malas belajar agama dan enggan beribadah ke mesjid. Pendapat ini aku keluarkan setelah melihat sendiri perbandingan antara pemuda dulu (orang-orang yang sudah besar saat aku masih kecil) dengan pemuda sekarang (termasuk aku).
Pertama, dulu di kampungku tidak ada listrik dan TV, pemuda pemudi hanya bisa bermain di siang hari atau di malam terang bulan. Mereka tidak pernah menonton, kecuali ada keramaian di tempat pesta atau lomba ratep meusukat, seudati, rapaie daboeh, rapaie geleng, dan lain-lain. Mereka tidak pernah disibukkan dengan gosip artis dan Fitri yang udah melahirkan anak, mereka tidak pernah disibukkan dengan Marshanda yang depresi, mereka tidak pernah memperbincangkan Noordin M. Top dan mereka tak pernah meributkan tetek bengek keartisan lainnya.
Di siang hari mereka bermain bola kaki atau bermain bola voli di kampung, membagi shift permainan secara sportif agar semua dapat bermain. Jam 3 sampai jam setengah lima, giliran pemudi (sekarang disebut cewek) yang bermain, saat para pemuda biasanya masih di sawah atau di kebun, kalaupun ada yang hadir itu karena lagi libur kerja atau memang lagi pengen melihat pemudi-pemudi bermain sambil membantu memberi semangat. Setelah jam setengah lima baru giliran para pemuda, bermain sampai menjelang magrib. Mereka selalu menyempatkan diri mandi dan shalat berjamaah di mesjid, dilanjutkan dengan belajar ngaji sampai menjelang isya. Setelah shalat isya para pemuda dan pemudi itu tadarus sampai jam 11 malam. Saat itu tidak ada listrik di kampung, setelah selesai mengaji mereka ditemani oleh guru mengaji berkeliling kampung membawa lampu petromaks sambil mengantar satu persatu teman.
Dulu, di kampungku tidak ada Hand Phone yang membuat pemuda sibuk mengirim SMS dan ngutang pulsa di counter HP. Tidak ada pemuda yang menyendiri di pojok remang malam dan sengaja menghindar teman-teman untuk menelpon cewek yang dia sendiri tidak tau bagaimana wajahnya (entah cantik entah dipenuhi bintang dan planet-planet). Pemuda dulu tidak disibukkan dengan perbincangan dan pembahasan-pembahasan politik kosong di warung kopi.
Kedua, pemuda dan pemudi tempo doeloe belajar agama bersama dalam satu waktu dan ruangan yang sama, mereka bergotong royong bersama, berdiskusi dan membahas program-program sederhana mereka bersama. Mereka tidak dipisahkan oleh perbedaan jenis kelamin, tidak dipisahkan oleh kekuatiran terjadinya khalwat, tidak dipisahkan dalam ruangan berbeda dan hari yang sama antara laki-laki dan perempuan (antara pemuda dan pemudi).
Aku melihat ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perbedaan itu. Tidak ada survey resmi untuk mendukung hipotesa ini, tetapi pengalaman pribadi ini membuatkan satu kesimpulan bulat bagiku, bahwa banyak pemuda yang malas berkumpul di mesjid dan lebih memilih mojok di warung kampung yang ada anak gadisnya. Mereka malas shalat berjamaah kalau sang idola lagi berhalangan (atau sama malasnya). Mereka malas rapat dan ikut pengajian tapi lebih memilih sms-an dengan pujaan hati di tempat gelap dan sepi.
Saran dan pendapat ini aku sampaikan disambut bantahan dari hampir semua orang tua, mereka tidak sependapat dan sangat tidak setuju andai pemuda dan pemudi di campur untuk belajar agama. Ada kekuatiran mereka tidak serius belajar dan lebih banyak senda gurau. Tapi dulu aku tidak melihat hal seperti itu , dulu mereka juga bercanda dan bersenda gurau, tapi mereka tau Wahidon-satu, isnani-dua, salasatun-tiga dan lain-lain. Dalam canda dan gurauan, mereka juga tau rakson-kepala, kumalon-kutu, wajhon-muka, dakanon-dagu, ainon-mata, syakraton-bulu. Mereka belajar bahasa arab, belajar rukun-rukun shalat, belajar dasar-dasar agama sambil bercanda dan tertawa dalam kebersamaan yang tidak terpisahkan, tetapi mereka tetap pada prinsip utama bahwa mereka berada disitu untuk belajar dan mengerti agama.
Apakah anak-anak muda sekarang tidak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dengan cara seperti itu karena kuatir mereka menyalah gunakan kepercayaan ? apakah kita bisa menvonis sesuatu tanpa melihat dulu apakah itu layak divonis atau tidak ?
BERSAMBUNG....
No comments:
Post a Comment